Garasitogel-mistik - Cerita Kisah Misteri Mistis Pesugihan Keangkeran Alas Purwo.Karena faktor umur dan sakit-sakitan, aku di-PHK oleh perusahaan PT. Jagat Raya Abadi, sebutlah begitu. Uang pesangon yang dibërikan oleh perusahaan itu habis untuk biaya berobat ke rumah sakit. Kala itu, tahun 1998 awal, belum ada program pemerintah BPJS. Maka itu, uang yang ada terpaksa digunakan untuk kesembuhanku. Namun, malang nasibku, uang pesangon habis di rumah sakit, tapi penyakitku tidak sembuh juga. Duh Gusti..
Dalam keadaan sakit-sakitan, aku ambil cicilan motor dan menjadi tukang ojek. Karena kurang lincah karena faktor kesehatan, maka hasilku mengojek hanya cukup makan bagi diriku sendiri. Untunglah, Marfuah, istriku, bisa membantu. Marfuah berdagang nasi uduk, lontong sayur dan gorengan setiap pagi, laris manis, hingga dapat membantu ekonomi rumah tangga.
Dari keuntungan dagang istriku, maka kami dapat makan tiga kali sehari. Juga bisa membayar rekening listrik dan rekening air PDAM. Juga membiayai sekolah Nurhayati, anakku di bangku SMA Partisipan. Sekolah sewasta yang bayarannya terjangkau.Istriku wanita yang setia. Dia tidak pernah mengeluh dan bekerja keras walaupun kesehatannya juga tidak prima.
Suka sakit kepala karena migren. Setiap jam 0.00 dinihari, dia bangun tidur dan memasak nasi uduk, lontong sayur dan gorengan. Ada tahu, tempe, pisang dan singkong. Selama berbulan-bulan dagang, alhamdulillah migren istriku jarang kambuh. Jika kambuh, aku yang ambil aIih berjualan. Anak perempuanku, Nurhayati, membàntu menggoreng dan membuat nasi uduk. Aku yang berjualan di tepi jalan, kurang lebih 300 meter dari rumah kami.
Akibat tidak bayar cicilan motor, akhirnya mendapat surat tarik dan motorku diambil debt collector. Akhirnya aku secara penuh membantu istriku dagang. Namun belakangan, usaha istriku dapat saingan. Ada tetangga sebelah yang berjualan juga dan barang jualannya nyaris sama dengan kami. Maka itu, pembeli terbagi dan usaha kami terancam gulung tikar. Kalah bersaing dan pembeli makin sedikit.
Istriku Marfuah bingung. Anakku Nurhayati juga bingung. Sebagai anak kepada orangtua, Nurhayati meminta aku, bapaknya untuk menjadi sopir angkot atau sopir pribadi perusahaan, karena aku punya SIM A, sim mobil. Akupun mendengarkan suara anakku. Permintaan anakku itu kupikir realistis dan masuk akal. Maka itulah, aku mendatangi semua orang yang kukenal, mungkin butuh sopir pribadi. Juga aku mendatangi bos angkot, mungkin aku bisa menjadi sopir angkot dengan setorang setiap hari.
Dari keuntungan dagang istriku, maka kami dapat makan tiga kali sehari. Juga bisa membayar rekening listrik dan rekening air PDAM. Juga membiayai sekolah Nurhayati, anakku di bangku SMA Partisipan. Sekolah sewasta yang bayarannya terjangkau.Istriku wanita yang setia. Dia tidak pernah mengeluh dan bekerja keras walaupun kesehatannya juga tidak prima.
Suka sakit kepala karena migren. Setiap jam 0.00 dinihari, dia bangun tidur dan memasak nasi uduk, lontong sayur dan gorengan. Ada tahu, tempe, pisang dan singkong. Selama berbulan-bulan dagang, alhamdulillah migren istriku jarang kambuh. Jika kambuh, aku yang ambil aIih berjualan. Anak perempuanku, Nurhayati, membàntu menggoreng dan membuat nasi uduk. Aku yang berjualan di tepi jalan, kurang lebih 300 meter dari rumah kami.
Akibat tidak bayar cicilan motor, akhirnya mendapat surat tarik dan motorku diambil debt collector. Akhirnya aku secara penuh membantu istriku dagang. Namun belakangan, usaha istriku dapat saingan. Ada tetangga sebelah yang berjualan juga dan barang jualannya nyaris sama dengan kami. Maka itu, pembeli terbagi dan usaha kami terancam gulung tikar. Kalah bersaing dan pembeli makin sedikit.
Istriku Marfuah bingung. Anakku Nurhayati juga bingung. Sebagai anak kepada orangtua, Nurhayati meminta aku, bapaknya untuk menjadi sopir angkot atau sopir pribadi perusahaan, karena aku punya SIM A, sim mobil. Akupun mendengarkan suara anakku. Permintaan anakku itu kupikir realistis dan masuk akal. Maka itulah, aku mendatangi semua orang yang kukenal, mungkin butuh sopir pribadi. Juga aku mendatangi bos angkot, mungkin aku bisa menjadi sopir angkot dengan setorang setiap hari.
Tetapi, mencari pekerjaan sopir ternyata tak gampang. Dari seribu sasaran yang aku datangi, hanya ada dua yang menerima. Itupun, hanya bekerja sebulan, setelah itu aku dipecat lagi. Belakangan aku dengar, Pak Hendra Syamsu, pemilik mobil yang aku bawa, dikomplin anak-anak dan istrinya, agar tidak menjadikan aku sopir mereka lagi. Karena semuanya tahu bahwa aku menderita penyakit paru-paru, TBC, tuberkiosis yang bisa menular. Keluarga Pak Hendra Syamsu tidak mau ketularan penyakitku, maka itu mereka jauhkan aku dari kehidupan mereka.
Aku sangat memahami hal ini Aku mengerti bahwa seorang yang berpenyakit TBC akan banyak dihindari orang.Batukku akan membuat orang ketularan dan semua tidak mau ambil resiko itu. Padahal, belum tentu penyakit ini dapat menular kepada mereka. Jika percaya adanya Allah Azza Wajalla, mereka tak akan takut karena penyakit itu datangnya dari Allah. Jika kun fayakun, kata Allah, tidak terkena, walaupun uap batukku masuk ke tubuh mereka, mereka tak akan terkena TBC seperti aku.
Tapi ya, sudahlah, demikianlah kehidupan. Aku ikhlas menerima keadaan ini dan hanya tawakkal, bérserah diri, bergantung dan berdoa kepada Allah Yang Maha Agung. Sifat pengasih dan penyayang Allah aku minta dan aku yakin Allah akan memberikan kasih sayang dan cinta itu kepadaku, sebagai makhluk lemah yang diciptakan oleh-Nya.
Di luar dugaan, aku didatangi Pak Hendra Syamsu di suatu senja. Kala itu hari minggu, saat libur beberapa hari setelah kerusuhan Mei 1998. Setelah terjadi pembakaran di mana-mana terhadap gedung gedung milik orang Cina, mall dan ruko-ruko WNI keturunan cina.
Pak Syamsu mengajak aku ke jawa Timur, ke Banyuwangi untuk suatu urusan bisnis, katanya. Pak Syamsu memberi istriku uang yang cukup banyak, juga memberi anakku Nurhayati buat biaya sekolah.
“Bapakmu akan aku ajak kerja di Banyuwangi, kalau bapakmu lama di sana, jangan dicari, bapakmu kerja dan uang untuk keperluan kalian, akan saya berikan setiap bulan, sebagai gaji dari bapakmu,” kata Pak Syamsu kepada anakku Nurhayati, yang juga didengar oleh istriku, Marfuah.
Tanggal 25 Desember 1998 kami berdua berangkat ke Banyuwangi. Aku disenangkan dengan naik pesawat Garuda Indonesia Airline. Dari bandara Soekarno-Hatta Kota Tangerang, kami terbang ke bandara Juanda, Surabaya. Dari Surabaya, naik taksi gelap ke Banyuwangi, menuju selatan yaitu ke Alas Purwo.
“Kita bukannya ke Kota Banyuwangi, Pak?” tanyaku, lugu.
“Kita bisnisnya di hutan, hutan Alas Purwo, namanya. Yang penting keluargamu aku jamin nanti, tiap bulan biaya anakmu sekolah dan biaya rumah tanggamu, aku yang jamin,” kata Pak Hendra Syamsu, serius, dengan senyum yang setengah tulus.
Di luar pengetahuanku, ternyata Alas Punwo adalah tempat persugihan paling mumpuni di Tanah Jawa. Sama dengan daerah Tugumulyo yang keramat di kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatena Selatan.
hutan Alas Purwo. Karena perusahaannya oleng terancam bangkrut, maka Pak Syamsu disarankan dukunnya untuk melakukan pesugihan di Goa Astana. Bahkan dukun yang dimaksud, menjamin bahwa perusahaan Hendra Syamsu akan bangkit bahkan lebih maju dari pada saat sebeIumnya
Hal itu aku ketahui setelah Pak Syamsu masuk menemui pendeta dan pendeta penguasa Goa Astana menerima Pak Syamsu dalam suatu perbincangan yang serius. Sementara aku mencari tahu di luar itu, berbincang dengan pelaku pesugihan asal Kalimantan barat, Syahrial Arifin yang kukenal di situ. Dari Syahriallah aku tahu bahwa Goa Astana dan goa-goa lain yang ada di tengah Hutan Alas Purwo adalah tempat persuhihan ampuh di Indonesia. Banyak orang sukses dan orang-orang kaya berhasil setelah melakukan ritual persugihan di sini. Cerita Bang Syahrial Arifin, asal sambas, Kalimantan Barat.
Aku tersentak mendengar hal mi. Aku diajak ke Jawa Timur untuk bekerja di bisnis Pak Hendra Syamsu, eh, tidak tahunya, diajak ke Alas Purwo ke tempat persugihan mumpuni di jawa Timur ini. Lha, tugasku untuk apa, apakah hanya menemani Pak Hendra Syamsu atau untuk apa? Tanyaku, dalam hati. Belakangan, jantungku berdetak hebat dan bulu kudukku merinding, di mana Pak Hendra Syamsu telah melakukan penjanjian keramat dengan setan Alas Purwo.
Diam-diam, aku akan dijadikan tumbal - olehnya. Sebab permintaan setan Alas Purwo, Jin Panggaru, namanya, harus ada barter nyawa. Jika mau sukses, dan kesuksesan Pak Hendra Syamsu kelak, akan didapat, bila ada nyawa manusia sebagai tumbal. Dari itulah nyaku yang ditawarkan. Pertimbangannya, aku lelaki tua yang tak berguna lagi, sebab aku tidak bekerja dan sakit TBC. Jangankan bagi bangsa dan negara, bagi istri dan anakkupun, aku sudah tak berguna lagi. Maka itu, hanya akulah yang dianggap pantas untuk dimatikan sebagai persembahan tunggal, akan dimatikan selaku barter nyawa bagi jin Panggaru, penghuni gaib Hutan Alas Punwo.
Aku lalu menghitung-hitung ke masa sebelum berangkat. Pikirku, pantas saja Pak Hendra Syamsu akan menjamin keluargaku. Menjamin biaya sekolah Nurhayati anakku, menjamin hidup istriku dan rumah tangga kami. lstri dan anakku tentu senang mendengarkan tawaran itu. Sebab mereka tahu bahwa aku bekerja di Banyuwangi, bukan sebagai tumbal untuk dimatikan.
Jika istriku tahu, anakku tahu bahwa aku akan dibunuh sebagai tumbal, walau aku sudah tua, tak bekerja dan sakit-sakitan, pastilah mereka menolak. Aku tahu persis bagaimana rasa kasih Marfuah kepadaku, yang sudah hidup 40 tahun dalam mahligai perkawinan denganku. Juga anakku yang jelita, Nurhayati, pastilah tidak rela bila ayahnya dijadikan tumbal untuk persugihan berbarter nyawaku.
Syahrial Arifin membuka kedok ini dan aku sadar bahwa nyawaku dalam bahaya. Rasanya, kalau punya uang, saat itu juga aku Iari dari Alas Purwo dan pulang ke rumahku dipinggiran Jakarta Selatan. Walau hidup miskin dan sakit berat, saat aku sembahyang dan mengais di sejadah berdoa dan berzikir kepada Allah Azza Wajalal, pikiranku tenang dari semua problem hidup tidak menjadikan aku stress dan tertekan. Ada Allah, ada Allah yang membantu, yang menolongku.
Sayang, aku tak punya uang dan tidak ada kendaraan untuk kabur keluar dari hutan dan pergi ke Banyuwangi lalu pulang dengan kereta api ke Jakarta via Surabaya. Tapi, jangankan uang, rokok sebatangpun, aku tak punya. Aku bisa merokok hari itu karena pemberian Syahrial Arifin. Dia memberiku separuh bungkus rokok Gudang Garam merah kepadaku dan aku merokok. Walau TBC, aku tetap jadi perokok. Sebab dengan menghisap rokok, walau tidak aku telan, aku terhidup dan menjauhi stress dan depresi. Bila tenang, paru-paruku pun tenang dan tidak sakit, tidak sesak dan tidak nyeri di bagian dada.
Setelah lima jam bersemedi dalam Goa Astana, Alas Purwo, Pak Hendra Syamsu keluar. Dengan jantung berdetak, aku menatap matanya yang senja itu nampak kalah. Matanya melemah dan dia kelihatan sangat sedih melihat wajahku yang lesu.
“Kita pulang, Sofyan, semua sudah selesai dan kita pulang ke Jakarta malam ini juga,” katanya.
“Tapi sebelum kita beranjak dari hutan ini, kita naik ke bukit itu, namanya Bukit Karang Batu, kita berdoa di sana,” desisnya.
Aku sudah paham, bahwa Bukit Karang Batu itu sangat terjal dan tinggi. Bila aku didorong di bibirjurang, maka aku akan jatuh ke kedalaman 130 meter dan mati terbentur batu alam di bawahnya. Lalu saat itulah darahku akan dihisap jin Panggaru, sebagai tumbal persugihan yang dilakukan oelh Hendra Syamsu yang jahat.
Aku tidak menjawab apapun perkataan Syamsu. Aku terdiam seribu bahasa dan bungkam total. Batinku sangat nelangsa, gundah gulana, galau dan sedih sekali menghadapi kenyataan ini. Dalam batin aku berbicara kepada Tuhan, Sang Pencipta Alama Semesta, manusia dan jagat raya.
“Ya Allah, hina benar hidupku ini, karena tidak dapat bekerja dan sakit-sakitan, lalu dibunuh secara sia-sia sebagai tumbal persugihan.Ya Allah, Engkau Yang Maha Tahu, bagaimana cintaku kepada istri dan anak tunggalku, aku tidak ingin mati dengan cara begini. Aku terima mati sebagai takdirMu, tapi tidak dengan cara barter dengan setan. Aku ingin mati dekat istriku tercinta, anakku tersayang,” bisikku, dalam batin.
“Hei, Sofyan, kau dengar apa omonganku. Kamu budek ya? Kenapa kamu, kok malah melamun seperti ayam penyakitan begini?” bentak Hendra Syamsu, setengah marah.
Aku tetap diam. Pikiranku nanar dan kepalau terasa mulai pusing. Benar, pikirku, Syamsu akan menjadikanku tumbal dan aku akan dibunuh di Bukit Karang Batu. Entah bagaimana caranya dia bunuh aku, tapi, aku yakin aku didorong agar jatuh dan mati di jurang.
Entah bisikan dari mana, tiba-tiba aku suara di telingku lamat-lamat terdengar.
“Sofyan, ikuti saja dia, ikuti dia ke Bukit Karang Batu, apa maunya, turuti saja,” kata bisikan itu, pelan tetap jelas sekali di kupingku.
Aku merinding lagi. Jantungku berdetak hebat dan aku menuruti suara itu. Aku akan ikut Syamsu ke atas bukit, kurang lebih 1000 meter dan Goa Astana, menuju laut. “Baik Pak, kita berangkat,” jawabku, enteng.
Setelah berjalan cukup lama karena onak, duri dan belukar menghadang, sampailah kami di Bukit karangBatu. Selatannya, Samudera Hindia. Kami naik bukit dengan terengah-engah. Maklumlah aku sakit paruparu parah dan sulit bernafas. Untunglah, ada Allah yang membantu. Tiba-tiba, aku lebih kuat dari Hendra Syamsu naik ke atas bukit. Padahal tubuhnya sehat, banyak makan makanan bergizi dan vitamin serta nutrisi yang bagus. Sementara aku, jarang makan karena miskin, tidak ada gizi dan tidak juga ada nutrisi.
Dalam keadaan sakit TBC, aku tanpa obat dan tanpa suplai makanan yang memadai untuk proses kesembuhan TBC ku ni. Namun, Allah maha pengasih dan maha penyayang. Allah Azza Wajalla menolong aku dengan kasih sayang-Nya, hingga aku naik ke bukit dengan mudah dan ringan. Bahkan nafasku sangat lega dengan udara segar malam itu. Keadaan laut terlihat merah dan hutan sudah menjadi gelap. Samudera Hindia aku lihat begitu anggun dan cantik, lalu aku bersykur kepada Allah yang menciptaan alam laut dan alam hutan begitu jelita, hingga aku sangat bahagia dalam keadaan berbahaya itu.Sesampainya di bawah pohon angsana tua, dengan cepat tangan Hendra Syamsu menangkap krah bajuku dan mendorong aku ke jurang.Kau jadi tumbal dan keluarga besarmu aku jamin seumur hidup,” teriaknya.
Apa yang dikatakan Syahrial Arifin dan apa yang menjadi imajinasiku, benar adanya. Dengan cara mendorong aku ke jurang, hal itulah jadi salah satunya cara Syamsu membunuh aku. Modusnya, laporan polisi bahwa aku terjatuh di jurang. Atau dikatakannya bahwa aku bunuh diri. Maka, dia akan aman dari tuduhan pembunuhan berencana sesuai pasal hukum pidana pasal 340 KUHP dengan ancaman kurungan seumur hidup.
Aku terjatuh ke jurang. Namun Tuhan melindungiku, tanganku dapat memegang akar sebesar tanganku dan aku bergantung. Lalu, aku menginjak batu dan batu itu jatuh ke bawah. Mungkin Syamsu mengira aku jatuh dan mati di bawah jurang, lalu dia buru-buru turun bukit dan pulang ke Jakarta. Setelah merangkak dan berjuang untuknaik kembali ke pohon angsana, aku bertemu Jin Panggaru. Jin itu bukan meminta darahku, tapi dia malah memberikan sebuah ajimat sakti mandraguna kepadaku. Jimat itu berbentuk batu Samudera Hindia, King safir yang anggun. Aku dipeluk Jin Panggaru dan disuruhnya pulang ke Jakarta.
Sejak itu TBC ku sembuh. Begitu general check up di laboratorium Rumah Sakit Berlian, paru-paruku dinyatakan bersih total, normal dan aku dinyatakan sehat. Dokter yang menanganiku selama ini kaget, terkesima dan minta aku menjadi narasumber seminarnya, memberikan testimoni tentang paru-paruku yang sobek, kembali normal.
“Jika Allah berkehandak, tidak ada yang tidak mungkin di kolong langit ini. Jin Panggaru itu bukan jin, tetapi saya yakin dia Malaikat utusan Allah yang menolongmu. Bila Allah akan membantu, tak ada seorang pun yang bisa menghalangi. Bila Allah nyatakan nyawamu tidak mati hari itu, maka nyamu akan selamat bahkan kau akan sehat walafiat, bahkan penyakit mematikan pun, akan disembuhkan-Nya. ltulah kun fayakun, hanya dipunyai penguasa tunggal dan hanya Allah Azza Wajalla yang berkuasa atas Kun Faya Kun,”. desis Kiyai Hail Mulkan Ahmad, kepadaku, di pesantrennya yang nyaman di Jawa Timur.
Alhamdulillah, karena kesehatanku, aku membuat usaha rumah makan dan maju pesat. Tidak ada lagi orang yang takut kepadaku karena aku tidak pernah batuk lagi. Jangankan batuk berdarah, batuk basah pun, tidak lagi kualami. Usaha ku maju pesat, istri dan anakku membantu dengan tekun. Batu King safir aku jadikan cincin dan selalu kekenakan dijari manisku. Satu itu hanya media, yang berkuasa atasa batu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Beliau yang membuat batu itu, dengan takdirnya, Beliau memberi kekuatan pada apapun. Benda apapun, jika Allah memberikan kekuatan, akan menjadi kuat dan tangguh. Bahkan sakti mandraguna.
Hendra Syamsu malu kepadaku. Dia minta maaf dan mencium kakiku. Namun, berkat pertolongan dan bantuan Allah, usahanya makin berkibar dan tidak jadi ‘bangkrut. Namun, kami menjadi bersaudara hingga tahun 2017 ini. Sebagai muslim, aku telah memaafkan Syamsu yang sudah minta maaf. Agamaku melarang benci, iri dan dengki. Agamaku mengajarkan cinta kasih, hablumminannas dan Hablum Minallah. Agamakupun, melarang untuk sifat dendam. Maka itu, aku tak pernah dendam kepada Syamsu, walau dia punya niat jahat membunuhku.
Itulah kisah mistis misteri Korban tumbal pesugihan yang tempat pesugihan di taman nasional alas purwo,jika Allah berkehendak apapun bisa terjadi
Aku sangat memahami hal ini Aku mengerti bahwa seorang yang berpenyakit TBC akan banyak dihindari orang.Batukku akan membuat orang ketularan dan semua tidak mau ambil resiko itu. Padahal, belum tentu penyakit ini dapat menular kepada mereka. Jika percaya adanya Allah Azza Wajalla, mereka tak akan takut karena penyakit itu datangnya dari Allah. Jika kun fayakun, kata Allah, tidak terkena, walaupun uap batukku masuk ke tubuh mereka, mereka tak akan terkena TBC seperti aku.
Tapi ya, sudahlah, demikianlah kehidupan. Aku ikhlas menerima keadaan ini dan hanya tawakkal, bérserah diri, bergantung dan berdoa kepada Allah Yang Maha Agung. Sifat pengasih dan penyayang Allah aku minta dan aku yakin Allah akan memberikan kasih sayang dan cinta itu kepadaku, sebagai makhluk lemah yang diciptakan oleh-Nya.
Di luar dugaan, aku didatangi Pak Hendra Syamsu di suatu senja. Kala itu hari minggu, saat libur beberapa hari setelah kerusuhan Mei 1998. Setelah terjadi pembakaran di mana-mana terhadap gedung gedung milik orang Cina, mall dan ruko-ruko WNI keturunan cina.
Pak Syamsu mengajak aku ke jawa Timur, ke Banyuwangi untuk suatu urusan bisnis, katanya. Pak Syamsu memberi istriku uang yang cukup banyak, juga memberi anakku Nurhayati buat biaya sekolah.
“Bapakmu akan aku ajak kerja di Banyuwangi, kalau bapakmu lama di sana, jangan dicari, bapakmu kerja dan uang untuk keperluan kalian, akan saya berikan setiap bulan, sebagai gaji dari bapakmu,” kata Pak Syamsu kepada anakku Nurhayati, yang juga didengar oleh istriku, Marfuah.
Tanggal 25 Desember 1998 kami berdua berangkat ke Banyuwangi. Aku disenangkan dengan naik pesawat Garuda Indonesia Airline. Dari bandara Soekarno-Hatta Kota Tangerang, kami terbang ke bandara Juanda, Surabaya. Dari Surabaya, naik taksi gelap ke Banyuwangi, menuju selatan yaitu ke Alas Purwo.
“Kita bukannya ke Kota Banyuwangi, Pak?” tanyaku, lugu.
“Kita bisnisnya di hutan, hutan Alas Purwo, namanya. Yang penting keluargamu aku jamin nanti, tiap bulan biaya anakmu sekolah dan biaya rumah tanggamu, aku yang jamin,” kata Pak Hendra Syamsu, serius, dengan senyum yang setengah tulus.
Di luar pengetahuanku, ternyata Alas Punwo adalah tempat persugihan paling mumpuni di Tanah Jawa. Sama dengan daerah Tugumulyo yang keramat di kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatena Selatan.
hutan Alas Purwo. Karena perusahaannya oleng terancam bangkrut, maka Pak Syamsu disarankan dukunnya untuk melakukan pesugihan di Goa Astana. Bahkan dukun yang dimaksud, menjamin bahwa perusahaan Hendra Syamsu akan bangkit bahkan lebih maju dari pada saat sebeIumnya
Hal itu aku ketahui setelah Pak Syamsu masuk menemui pendeta dan pendeta penguasa Goa Astana menerima Pak Syamsu dalam suatu perbincangan yang serius. Sementara aku mencari tahu di luar itu, berbincang dengan pelaku pesugihan asal Kalimantan barat, Syahrial Arifin yang kukenal di situ. Dari Syahriallah aku tahu bahwa Goa Astana dan goa-goa lain yang ada di tengah Hutan Alas Purwo adalah tempat persuhihan ampuh di Indonesia. Banyak orang sukses dan orang-orang kaya berhasil setelah melakukan ritual persugihan di sini. Cerita Bang Syahrial Arifin, asal sambas, Kalimantan Barat.
Aku tersentak mendengar hal mi. Aku diajak ke Jawa Timur untuk bekerja di bisnis Pak Hendra Syamsu, eh, tidak tahunya, diajak ke Alas Purwo ke tempat persugihan mumpuni di jawa Timur ini. Lha, tugasku untuk apa, apakah hanya menemani Pak Hendra Syamsu atau untuk apa? Tanyaku, dalam hati. Belakangan, jantungku berdetak hebat dan bulu kudukku merinding, di mana Pak Hendra Syamsu telah melakukan penjanjian keramat dengan setan Alas Purwo.
Diam-diam, aku akan dijadikan tumbal - olehnya. Sebab permintaan setan Alas Purwo, Jin Panggaru, namanya, harus ada barter nyawa. Jika mau sukses, dan kesuksesan Pak Hendra Syamsu kelak, akan didapat, bila ada nyawa manusia sebagai tumbal. Dari itulah nyaku yang ditawarkan. Pertimbangannya, aku lelaki tua yang tak berguna lagi, sebab aku tidak bekerja dan sakit TBC. Jangankan bagi bangsa dan negara, bagi istri dan anakkupun, aku sudah tak berguna lagi. Maka itu, hanya akulah yang dianggap pantas untuk dimatikan sebagai persembahan tunggal, akan dimatikan selaku barter nyawa bagi jin Panggaru, penghuni gaib Hutan Alas Punwo.
Aku lalu menghitung-hitung ke masa sebelum berangkat. Pikirku, pantas saja Pak Hendra Syamsu akan menjamin keluargaku. Menjamin biaya sekolah Nurhayati anakku, menjamin hidup istriku dan rumah tangga kami. lstri dan anakku tentu senang mendengarkan tawaran itu. Sebab mereka tahu bahwa aku bekerja di Banyuwangi, bukan sebagai tumbal untuk dimatikan.
Jika istriku tahu, anakku tahu bahwa aku akan dibunuh sebagai tumbal, walau aku sudah tua, tak bekerja dan sakit-sakitan, pastilah mereka menolak. Aku tahu persis bagaimana rasa kasih Marfuah kepadaku, yang sudah hidup 40 tahun dalam mahligai perkawinan denganku. Juga anakku yang jelita, Nurhayati, pastilah tidak rela bila ayahnya dijadikan tumbal untuk persugihan berbarter nyawaku.
Syahrial Arifin membuka kedok ini dan aku sadar bahwa nyawaku dalam bahaya. Rasanya, kalau punya uang, saat itu juga aku Iari dari Alas Purwo dan pulang ke rumahku dipinggiran Jakarta Selatan. Walau hidup miskin dan sakit berat, saat aku sembahyang dan mengais di sejadah berdoa dan berzikir kepada Allah Azza Wajalal, pikiranku tenang dari semua problem hidup tidak menjadikan aku stress dan tertekan. Ada Allah, ada Allah yang membantu, yang menolongku.
Sayang, aku tak punya uang dan tidak ada kendaraan untuk kabur keluar dari hutan dan pergi ke Banyuwangi lalu pulang dengan kereta api ke Jakarta via Surabaya. Tapi, jangankan uang, rokok sebatangpun, aku tak punya. Aku bisa merokok hari itu karena pemberian Syahrial Arifin. Dia memberiku separuh bungkus rokok Gudang Garam merah kepadaku dan aku merokok. Walau TBC, aku tetap jadi perokok. Sebab dengan menghisap rokok, walau tidak aku telan, aku terhidup dan menjauhi stress dan depresi. Bila tenang, paru-paruku pun tenang dan tidak sakit, tidak sesak dan tidak nyeri di bagian dada.
Setelah lima jam bersemedi dalam Goa Astana, Alas Purwo, Pak Hendra Syamsu keluar. Dengan jantung berdetak, aku menatap matanya yang senja itu nampak kalah. Matanya melemah dan dia kelihatan sangat sedih melihat wajahku yang lesu.
“Kita pulang, Sofyan, semua sudah selesai dan kita pulang ke Jakarta malam ini juga,” katanya.
“Tapi sebelum kita beranjak dari hutan ini, kita naik ke bukit itu, namanya Bukit Karang Batu, kita berdoa di sana,” desisnya.
Aku sudah paham, bahwa Bukit Karang Batu itu sangat terjal dan tinggi. Bila aku didorong di bibirjurang, maka aku akan jatuh ke kedalaman 130 meter dan mati terbentur batu alam di bawahnya. Lalu saat itulah darahku akan dihisap jin Panggaru, sebagai tumbal persugihan yang dilakukan oelh Hendra Syamsu yang jahat.
Aku tidak menjawab apapun perkataan Syamsu. Aku terdiam seribu bahasa dan bungkam total. Batinku sangat nelangsa, gundah gulana, galau dan sedih sekali menghadapi kenyataan ini. Dalam batin aku berbicara kepada Tuhan, Sang Pencipta Alama Semesta, manusia dan jagat raya.
“Ya Allah, hina benar hidupku ini, karena tidak dapat bekerja dan sakit-sakitan, lalu dibunuh secara sia-sia sebagai tumbal persugihan.Ya Allah, Engkau Yang Maha Tahu, bagaimana cintaku kepada istri dan anak tunggalku, aku tidak ingin mati dengan cara begini. Aku terima mati sebagai takdirMu, tapi tidak dengan cara barter dengan setan. Aku ingin mati dekat istriku tercinta, anakku tersayang,” bisikku, dalam batin.
“Hei, Sofyan, kau dengar apa omonganku. Kamu budek ya? Kenapa kamu, kok malah melamun seperti ayam penyakitan begini?” bentak Hendra Syamsu, setengah marah.
Aku tetap diam. Pikiranku nanar dan kepalau terasa mulai pusing. Benar, pikirku, Syamsu akan menjadikanku tumbal dan aku akan dibunuh di Bukit Karang Batu. Entah bagaimana caranya dia bunuh aku, tapi, aku yakin aku didorong agar jatuh dan mati di jurang.
Entah bisikan dari mana, tiba-tiba aku suara di telingku lamat-lamat terdengar.
“Sofyan, ikuti saja dia, ikuti dia ke Bukit Karang Batu, apa maunya, turuti saja,” kata bisikan itu, pelan tetap jelas sekali di kupingku.
Aku merinding lagi. Jantungku berdetak hebat dan aku menuruti suara itu. Aku akan ikut Syamsu ke atas bukit, kurang lebih 1000 meter dan Goa Astana, menuju laut. “Baik Pak, kita berangkat,” jawabku, enteng.
Setelah berjalan cukup lama karena onak, duri dan belukar menghadang, sampailah kami di Bukit karangBatu. Selatannya, Samudera Hindia. Kami naik bukit dengan terengah-engah. Maklumlah aku sakit paruparu parah dan sulit bernafas. Untunglah, ada Allah yang membantu. Tiba-tiba, aku lebih kuat dari Hendra Syamsu naik ke atas bukit. Padahal tubuhnya sehat, banyak makan makanan bergizi dan vitamin serta nutrisi yang bagus. Sementara aku, jarang makan karena miskin, tidak ada gizi dan tidak juga ada nutrisi.
Dalam keadaan sakit TBC, aku tanpa obat dan tanpa suplai makanan yang memadai untuk proses kesembuhan TBC ku ni. Namun, Allah maha pengasih dan maha penyayang. Allah Azza Wajalla menolong aku dengan kasih sayang-Nya, hingga aku naik ke bukit dengan mudah dan ringan. Bahkan nafasku sangat lega dengan udara segar malam itu. Keadaan laut terlihat merah dan hutan sudah menjadi gelap. Samudera Hindia aku lihat begitu anggun dan cantik, lalu aku bersykur kepada Allah yang menciptaan alam laut dan alam hutan begitu jelita, hingga aku sangat bahagia dalam keadaan berbahaya itu.Sesampainya di bawah pohon angsana tua, dengan cepat tangan Hendra Syamsu menangkap krah bajuku dan mendorong aku ke jurang.Kau jadi tumbal dan keluarga besarmu aku jamin seumur hidup,” teriaknya.
Apa yang dikatakan Syahrial Arifin dan apa yang menjadi imajinasiku, benar adanya. Dengan cara mendorong aku ke jurang, hal itulah jadi salah satunya cara Syamsu membunuh aku. Modusnya, laporan polisi bahwa aku terjatuh di jurang. Atau dikatakannya bahwa aku bunuh diri. Maka, dia akan aman dari tuduhan pembunuhan berencana sesuai pasal hukum pidana pasal 340 KUHP dengan ancaman kurungan seumur hidup.
Aku terjatuh ke jurang. Namun Tuhan melindungiku, tanganku dapat memegang akar sebesar tanganku dan aku bergantung. Lalu, aku menginjak batu dan batu itu jatuh ke bawah. Mungkin Syamsu mengira aku jatuh dan mati di bawah jurang, lalu dia buru-buru turun bukit dan pulang ke Jakarta. Setelah merangkak dan berjuang untuknaik kembali ke pohon angsana, aku bertemu Jin Panggaru. Jin itu bukan meminta darahku, tapi dia malah memberikan sebuah ajimat sakti mandraguna kepadaku. Jimat itu berbentuk batu Samudera Hindia, King safir yang anggun. Aku dipeluk Jin Panggaru dan disuruhnya pulang ke Jakarta.
Sejak itu TBC ku sembuh. Begitu general check up di laboratorium Rumah Sakit Berlian, paru-paruku dinyatakan bersih total, normal dan aku dinyatakan sehat. Dokter yang menanganiku selama ini kaget, terkesima dan minta aku menjadi narasumber seminarnya, memberikan testimoni tentang paru-paruku yang sobek, kembali normal.
“Jika Allah berkehandak, tidak ada yang tidak mungkin di kolong langit ini. Jin Panggaru itu bukan jin, tetapi saya yakin dia Malaikat utusan Allah yang menolongmu. Bila Allah akan membantu, tak ada seorang pun yang bisa menghalangi. Bila Allah nyatakan nyawamu tidak mati hari itu, maka nyamu akan selamat bahkan kau akan sehat walafiat, bahkan penyakit mematikan pun, akan disembuhkan-Nya. ltulah kun fayakun, hanya dipunyai penguasa tunggal dan hanya Allah Azza Wajalla yang berkuasa atas Kun Faya Kun,”. desis Kiyai Hail Mulkan Ahmad, kepadaku, di pesantrennya yang nyaman di Jawa Timur.
Alhamdulillah, karena kesehatanku, aku membuat usaha rumah makan dan maju pesat. Tidak ada lagi orang yang takut kepadaku karena aku tidak pernah batuk lagi. Jangankan batuk berdarah, batuk basah pun, tidak lagi kualami. Usaha ku maju pesat, istri dan anakku membantu dengan tekun. Batu King safir aku jadikan cincin dan selalu kekenakan dijari manisku. Satu itu hanya media, yang berkuasa atasa batu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Beliau yang membuat batu itu, dengan takdirnya, Beliau memberi kekuatan pada apapun. Benda apapun, jika Allah memberikan kekuatan, akan menjadi kuat dan tangguh. Bahkan sakti mandraguna.
Hendra Syamsu malu kepadaku. Dia minta maaf dan mencium kakiku. Namun, berkat pertolongan dan bantuan Allah, usahanya makin berkibar dan tidak jadi ‘bangkrut. Namun, kami menjadi bersaudara hingga tahun 2017 ini. Sebagai muslim, aku telah memaafkan Syamsu yang sudah minta maaf. Agamaku melarang benci, iri dan dengki. Agamaku mengajarkan cinta kasih, hablumminannas dan Hablum Minallah. Agamakupun, melarang untuk sifat dendam. Maka itu, aku tak pernah dendam kepada Syamsu, walau dia punya niat jahat membunuhku.
Itulah kisah mistis misteri Korban tumbal pesugihan yang tempat pesugihan di taman nasional alas purwo,jika Allah berkehendak apapun bisa terjadi
SUMBER : WWW.GARASIGAMING.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar