Jumat, 14 Juli 2017

Cerita Misteri Mistis Manusia Harimau Itu Ternyata Suamiku

Garasitogel-mistik - manusia harimau. Malam Jumat Kliwon, 20 Januari 2017 aku sampai di Desa Nondeng, hutan Angkara Jodoh, Lampung Barat. Mobil sedan Toyota Agya 990 CC warna putih yang kupunyai, tidak bisa meneruskan perjalanan karena pecah ban, Ban depan kanan langsung kempes karena masuk lobang besar berpaku. Seharusnya ban tubles tidak akan langsung kempes. Namun, apes menyergap hidupku. Ban itu langsung kehilangan angin dan tinggal velg yang menyentuh aspal.

http://garasigaming.com/

Karena desa ini belum ada penerangan listrik, maka keadaan jadi gelap gulita. Jam di tanganku menunjukkan angka 24.00 tengah malam. Pukul 12 waktu setempat. Jantungku berdetak hebat tatkala aku mendengar suara auman harimau Sumatra malam itu. Suara itu terasa begitu dekat, mungkin hanya setengah kilometer dari mobilku. Atau 500 meter dari tempatku mengganti ban depan.

Dengan buru buru aku membuka ban dan mengeluarkan ban serep dari bagasi belakang. Aku mengeluarkan dongkrak, membuka baut lalu mengganti ban. Sebelum selesai pekerjaan itu, senterku tiba-tiba mati. Padahal batere charger itu baru saja terang benderang dan isinya penuh.

Suara harimau makin keras aumannya. Berarti raja hutan itu sedang mendekat ke arahku. Kayu-kayu tua jenis gerawan dan tembesu umur ratusan tahun itu, berdaun lebat, membuat suasana semakin gelap. Hujan terus membasuh bumi dan kilat serta petir menggantikan penerangan lampuku yang terputus. Baju kaosku basah kuyup dan tubuhku menggigil karena dingin.

Sebagai wanita, janda muda, tidak seharusnya aku menyetir séndiri di malam keramat di hutan Desa Nondeng. Desa ini sudah ditinggalkan penduduk karena angker. Semuanya warga pindah karena gangguan gaib wilayah ini. Anak-anak kecil banyak diculik hantu, ibu-ibu tua banyak yang diperkosa jin. Bahkan bapak-bapak juga banyak yang sakit lumpuh karena gangguan makhluk gaib sadis Desa Nondeng dan hutan Angkara Jodoh.

Mulutku terus berdoa, berzikir dan memuji kebesaran Allah Azza Wajalla. Aku memohon bantuan, pertolongan Yang Maha Kuasa, agar aku selamat malam itu. Mobilku bisa berjalan lagi sebelum harimau ganas itu menyantap tubuhku.

Di dalam kegelapan aku terus meraba raba memasang ban. Memang sebagai petualang nyetir jauh, aku sudah terbiasa mengganti ban. Bahkan, jika ada kerusakan mesinpun, sedikit banyak aku dapat membetulkan. Sebagai tamatan Sekolah Tinggi Tekhnik Mesin, lnstitut Tehnologi Balaraja, aku mampu membongkar mesin. Memasang mesin dan tahu tentang permesinan kendaraan. Jangankan mobil kecil seperti Toyota Agya, mobil truk pun, pernah aku bongkar. Truk pengangkut nenas milik ayahku di Tanjung Batu, Ogan Ilir, pernah aku bongkar dan aku betulkan. Semua itu berhasil dan aku dapat pujian dari kakekku.

“Cucuku ini memang seorang wanita anang ino, tomboy, jagoan lembut dari trah Tanjung Batu,” ungkap Gede Harun Abu Saman, 78 tahun, kakekku yang sudah tua namun juga masih aktif sebagai pengusaha perkebunan nenas di Ogan illir. Gede Harun Abu Saman memang senang melihat aku yang kelaki-lakian. Maka itu aku dijodohkan dengan cucunya yang lain, Darwis Asikin, suamiku, yang meninggal karena kecelakaan pesawat Adam Air di Masalembo, Laut Makasar.
 
Hujan berhenti total saat ban mobilku sudah terpasang. Aku segera masuk mobil dan menghidupkan mesin. Aku masukkan perseneling satu dan melaju méninggalkan hutan Angkara Jodoh menuju barat. Dengan kecepatan rendah karena jalan rusak parah, aku melaju dengan penuh konsentrasi. Aku takut kalau kalau pecah ban lagi dan celaka dua belas. Sebab ban serap tak ada lagi, sudah dipakai di ban kanan yang baru saja pecah.

Saat lampu mobil ku menyorot ke jalanan di depan, seekor harimau lewat memotong jalan. Raja hutan itu melintas dengan Santai di jalan berlobang, sambil kepalanya melirik ke arahku.

“Duh gusti, itu harimau yang belakangan diberitakan banyak makan orang. Suara harimau itulah yang tadinya berisik di telingaku,” batinku, sambil hati-hati menyetir.

Beberapa saat harimau itu berhenti di jalan. Matanya sangat tajam mengarah ke mataku. Ketika matanya tersorot lampu kendaraan, mata itu langsung mengeluarkan sinar bagaikan lampu laser ke arahku. Setelah menatap tajam dengan sinar laser ke mataku, harimau itu duduk di tengah jalan. Menghalangi laju kendaraanku menuju arah perbatasan Sumatera Selatan-Lampung Barat.

Batinku bergolak hebat. Apakah harimau besar itu tabrak lalu aku Iari. Atau aku berdiam di depannya sambil menunggu kesadaran hewan bahaya itu untuk pergi dan jalanan. Tapi mungkinkah dia pergi? Sebab dia nampak begitu nyaman di tengah jalan untuk menghalangiku.

Harimau itu nampak kelaparan dan ingin memakan diriku. Anehnya pula, tengah malam itu tak ada satupun kendaraan yang melintas. Jangankan mobil, motor dan sepeda pun, tidak ada yang melintas sama sekali.

Rasa takut menggelayut dalam batinku. Bulukudukku merinding dan nyaliku menciut seketika. Pikirku, aku tetaplah pertempuan lemah dan wanita yang membutuhkan bantuan lelaki. Apakah aku bisa menghadapi Raja Hutan yang matanya menyala-nyala dan kelaparan itu?

“Bila aku tabrak, harimau sebesar itu pastilah takkan mati, bahkan tubuhnya berbalik lalu menyerang aku dan mobilku, lalu aku dicabik-cabik dan dibunuh olehnya,” bisikku, dalam hati.

Mulutku terus berdoa, benzikir, berserah din kepada Allah yang Maha Agung, Tuhanku yang jadi satu-satunya tempatku meminta. Aku memohon petunjuk kepada Tuhanku, apakah yang harus kulakukan di saat-saat terjepit seperti itu? Tiba-tiba suara petir bergetar hebat.

Petir itu menghantam pohon di dekat harimau itu duduk. Harimau tersentak kaget dan aku Iebih terkaget lagi dengan suana gemuruh salak langit itu. Oh Tuhan, harimau itu berdiri dari duduknya, lalu keluar dari jalan dan masuk hutan belukar sebelah jalan.

Dengan perlahan aku memacu gas Agya ku. Aku melaju dengan kecepatan agak tinggi karena takut. Mobilku melaju cepat ke barat meninggalkan lokasi harimau belang itu. Dengan jantung berdetak dan rasa takut yang teramat sangat, aku melarikan Toyota Agya Putih 990 CC itu. Namun aku merasakan harimau itu berbalik dan berlani kencang mengejar kendaraanku yang cepat berlari ke barat.

Benar saja, setelah mataku melihat ke kaca spion, harimau itu membuntutiku dari belakang. Dia mengejar aku dan semakin aku cepat, semakin cepat pula macan itu berlari mengejarku. Dengan rasa takut yang teramat sangat, aku memacu kecepatan 60 kilometer perjam. Seharusnya, jalan itu tidak bisa dengan kecepatan tinggi sebesar itu. Tapi karena ingin menyelamatkan diri, aku memacu minibus ku itu dengan sangat cepat.

Setelah satu jam mobilku berlari dan harimau itu terus mengejar, aku melihat kantor polisi sektor Tarbungan. Lampu menyala terang di Polsek itu dan aku memasuki halaman kantor polisi sektor itu untuk meminta bantuan. Ada empat polisi benjaga di pos dan aku meminta tolong.

“Ada apa ibu? Apa yang bisa dibantu?” tanya seorang polisi berpakaian dinas, pangkatnya Bripka dan namanya Bripka Suryanto Sulastomo.

“Saya dikejar harimau Pak, Harimau besar mengejar mobil saya sejak dari hutan Angkara Jodoh, Desa Nondeng, Lampung Barat,” kataku, terengah engah.

“Tenang Bu, tenang, di mana harimau yang mengejar ibu, kok tidak ada?” tanya Bripka Suryanto Sulastomo, kepadaku.

“Ya ampun Pak, harimau itu sangat dekat dengan mobilku dan mengejarku selama berjam-jam perjalanan menuju kantor polisi ini,” imbuhku.

“lya, tapi harimau yang kata ibu mengejar mobil itu, kok enggak ada ya?” tanya Bripka Suryanto Sulastomo, tak menuntut jawaban.

Memang, hingga setengah jam aku berada di pos depan Polsek Tarbungan, harimau yang mengejar aku itu ternyata tidak ada. “Saya rasa ibu berhalusinasi karena Ielah menyetir jauh dari Jakarta ke daerah ini. Ibu capek dan mengantuk, mungkin, hingga ibu membayangkan melihat seekor harimau besar yang mengejar ibu,” kata Bripka Suryanto Sulastomo lagi, kepadaku.

Aku’disarankan untuk beristirahat dulu di mobil. Bripka Suryanti Sulastomo meminta mobilku diparkir depan pos dan aku tidur dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Palembang. Aku mengikuti saran itu dan aku menyalakan mesin dan menghidupkan AC dan berusaha memejamkan mata. Sementara empat polisi Polsek melanjutkan tugas mereka berjaga malam itu.

Namun mataku tidak dapat aku pejamkan. Artinya aku tidak dapat tidur. Pikiranku masih memikirkan harimau itu. Harimau itu benar-benar ada dan bukan halusinasi. Aku tidak sedang bermimpi, tidak sedang mengigo. Harimau itu benar-nyata dan ada. Tapi mengapa Bripka Suryanto Sulastomo katakan aku sedang halusinasi? Halusinasi karena capek nyetir dan Jakarta dan mimpi.

walau aku berusaha memejamkan mata, namun aku tak bisa tidur juga. Maka itu, batinku memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Bila aku lama melamun di kantor polisi Polsek Tarbungan di perbatasan provinsi ini, waktuku akan terbuang percuma. Namun, bila berjalan, lambat tau cepat aku akan sampai di Kota Palembang, tempat kedua orangtuaku menetap.

Aku segera keluar dari mobil dan pamit kepada empat polisi Polsek Tarbungan itu. Terutama kepada Pak Bripka Suryanto Sulastomo. Pak Suryanto berdiri dan bertanya kepadaku, apakah fisikku sudah cukup kuat untuk meneruskan perjalanan ke Palembang. Setelah aku yakinkan bahwa aku kuat, Pak Bripka Sutyanto Sulastomo pun mengantarkan aku ke mobil dan aku pergi meninggalkan kantor polisi Tarbungan.

Jam di tanganku sudah menunjukkan jam, 02.45 WIB, tanggal 20 Januari 2017, hari jumat kliwon. Sebelum aku beranjak, aku bertanya kepada Pak Bripka Suryanto, di mana tambal ban dan berapa jauh ada tukang tambal ban karena ban serap ku pecah. Pak Suryanto Sulastomo menyebut sepuluh kilo meter ada tambal ban besar. Buka 24 jam dan tambal tubies pun, bisa.

Aku menyalakan mesin dan memacu gas keluar Polsek Tarbungan menuju barat. Aku pamit dan menghormat kepada empat polisi, terutama kepada Pak Bripka Suryanto Sulastomo yang baik hati membantuku.

Setelah kurang lebih satu kilometer meninggalkan Polsek Tarbungan, aku melihat harimau tadi mengejar lagi. Dengan sangat jelas aku melihat sosok Raja Rimba itu dari kaca spion tengah dan spion pinggir kanan. Harimau itu ada lagi dan mengapa saat di Polsek Tarbungan kok tidak ada? Batinku berbisik, harimau itu bukan harimau biasa, tapi harimau jejadian yang sejak kecil biasa aku dengar banyak ada di sekitar Kota Palembang, kotaku.

Karena was was dan gundah gulana, pas jalan mulus, aku pacu dengan kecepatan tinggi Agya ku. Namun semakin aku cepat melarikan mobil, semakin cepat pula hewan buas itu mengejar. Setelah tiga kilo Iari, aku melihat toko ban yang menyala terang.

Toko ban itu juga berpraktek menambal. Baik ban tubles maupun ban yang menggunakan ban dalam. Aku segera masuk ke halaman toko itu dan ada dua orang petugas tambal ban bendiri menyambutku di pagi buta itu.

Aku segera turun dan meminta bantuan tukang ban untuk mengambil ban yang pecah di bagasi Toyota Agya ku. Dua orang itu mendatangi bagasiku dan menurunkan ban. Lalu dia meletakkan ban di sirkel besi untuk penambalan tubles. Disuntiknya bagian yang pecah dan dengan teliti kedua orang itu mengurus ban serep yang bermasalah.

Namun yang jadi MISTERI aneh lagi, harimau itu hilang dan tidak nampak batang hidungnya dan mataku. Aku lalu menceritakan kepada dua tukang ban tentang harimau yang mengejarku.

“Ah tidak ada harimau Bu, ibu mimpi kali, mimpi melihat harimau kanena ibu mengantuk menyetir jauh dari Jakarta, menyeberang laut pula, selama tiga jam terapung di Sekat Sunda dalam kapal ferry. Biasanya, kalau menyetir mengantuk, penyetir cenderung berhalusinasi,” kata tukang ban, yang belakangan aku ketahui bernama Gontap Sinaga.

Sama seperti polisi Polsek Tarbungan, tukang ban ini juga menyangka aku berhalusinasi. Harimau itu tak pernah ada dan takkan mungkin ada, apalagi sampai mengejar mobil yang lari begitu kencang. Setelah menambal ban serap, aku membayar dan melanjutkan perjalanan ke barat. Melaju melintasi Kota Martapura, Kota Baturaja dan masuk ke Hutan Beringin yang akan menembus Kota Prabumulih, 120 kilometer dari Palembang.

Begitu masuk hutan Beringin, Ogan Komering Ulu, harimau itu menarik mobilku lagi. Dia muncul lagi dengan tubuh yang lebih kuat dan menyetop jalan kendaraanku. Mobilku seperti direm dan ditarik oleh elevator. Aku melihat dari kaca, harimau itu makin nampak besar dan makin kelihatan galak nan ganas.

Dengan meyakini kekuatan doa, aku berdoa dan zikir meminta kepada Allah untuk melawan harimau itu. Aku turun membuka pintu mobil di suasana temaram, remang-nemang karena menjelang subuh, untuk menghadapi harimau misterius itu. Aku membawa kunci ban untuk menggebuk hewan itu dan siap bertarung sampai mati karena jengkel.

Ya Allah Ya Tuhanku, begitu aku akan memukul harimau itu, ternyata muka harimau berubah menjadi wajah suamiku. Darwis Asikin, suamiku yang ikut jatuh dalam kecelakaan pesawat Adam Air di Selat Makasar.

Tubuh dan kakinya berbentuk badan harimau, sementara mukanya, muka almarhum suamiku, Darwis Asikin. Selain suami, Kak Darwin Asikin juga saudara sepupuku. Dia satu kakek denganku dan kami menikah dijodohkan, karena kami masih bersaudara dekat.

“Kenapa begini Kak? Kakak kan kecelakaan pesawat dan raib dalam pesawat Adam Air dari Surabaya saat menuju Manado,” tanyaku.

Arkian, ternyata semasa hidupnya, suamiku itu mempelajani ilmu Manusia Harimau. Dia belajar secana serius di Hutan Lampung Barat, terutama di daerah Hutan Angkara Jodoh, tempat pertama kali aku menemukannya di tengah jalan dalam hutan belantana Desa Nondeng.

“Kakak sudah meninggal, tapi Kakak punya saudara kembar gaib, Manusia Harimau yang berdiam di Desa Nondeng, Hutan Angkara Jodoh. Jika Adek merindukan Kakak, Kakak selalu bisa ditemui di Desa Nondeng dari hutan Angkara Jodoh,” katanya, lirih.

Setelah berbicara begitu, dalam hitungan detik, Kak Darwis Asikin raib. Dia menghilang dan berlari cepat ke timur. Kembali ke Hutan Angkara Jodoh di Desa Nondeng, Lampung Barat. Dengan perasaan cuntang puranang aku melanjutkan penjalanan ke Palembang dan tiba di Jembatan Ampera, Musi Satu, pukul tujuh pagi.

Setelah aku bencerita kepada kakekku di Tanjung Batu, Ogan Ilir, barulah kakekku jujur mengakui, bahwa suamiku, Darwis Asikin, semasa hidupnya, adalah Manusia Harimau. Harimau Jadi-Jadian untuk menyedot harta gaib di Singapura. Suamiku memang lama tinggal di Kota Singa dan kaya raya karena sedot harta gaib sebagai manusia harimau.

Kekayaan yang berupa tanah, perkebunan dan ratusan truk peninggalannya, adalah hasil kemampuannya menyedot harta gaib selaku manusia harimau. Hingga kini, bulan maret ini, bila aku mau jumpa suamiku, aku datang dengan mobil ke Hutan Angkara Jodoh dan Desa Nondeng, Lampung Barat. Aku langsung jumpa dan ngobrol panjang dengan kembaran Darwis Asikin sebagai manusia harimau. Bertubuh harimau namun berwajah suamiku yang telah wafat, Darwis Asikin.



SUMBER : WWW.GARASIGAMING.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar