Garasitogel-mistik - Sejak dicerai oleh suamiku, aku pergi jauh dan Jakarta menuju sebelah utara Pulau Jawa. Rasa malu dan putus asa membuat aku nekad pergi jauh dari keluarga, famili dan para sahabatku di ibukota. Untunglah aku tidak punya anak. Maka tidak ada beban bagiku untuk minggat, kabur menjauh dari pandangan tetangga dan kerabat, menghilang lalu pergi ke Pulau Miangas. Pulau terluar Indonesia yang lebih dekat ke negara Filipina. Desa nelayan yang di kecamatan Nunusa, kabupaten Kepulauan Talaud, provinsi Sulawesi Utara
Menerima sebagai takdir Allah Azza Wajalla, maka peranakanku lemah dan divonis takkan dapat anak seumur hidup. Dan aku ikhlas menerima kenyataan itu. Tiga kali hamil muda, tiga kali pula keguguran. Sejak itu aku tidak bisa hamil lagi bahkan selamanya tak akan bisa mengandung. Oleh karena kelemahanku itu, maka suamiku memilih menikah lagi. Kang Mudrika Hasan, suamiku, menikahi seorang gadis belia Faizah Fatimah dan desa Situ Uncal, Purwasari, di kaki Gunung Salak, Bogor, yang dibelinya dengan harga mahal kepada orang tua gadis itu. Setelah menikahi gadis cantik itu, aku disia-sia bahkan diceraikannya di pengadilan agama Jakarta Timur. Di pengadilan agama Jakarta Timur di Pulogadung, aku diputuskan cerai dan diberikan uang Rp 30 juta sebagai uang kerohiman
Maka dengan uang itulah aku pergi jauh dari rumah. Mungkin, pergi untuk selama-lamanya.Pukulan terberat bagi seorang istri adalah dihina, dimadu lalu diceraikan suami. Rasanya aku tiba-tiba menjadi seperti sampah, barang yang tak berguna, barang terbuang, tak berharga lagi lalu dilempar ke tempt pembuangan akhir dan dibakar. Semua wanita akan merasa terhina bila mengalami nasib seperti diriku
Suami menikah lagi karena alasan ingin mendapatkan keturunan, lalu dicerai dan disantuni seperti pengemis. Tapi pikirku, sudahlah, ini adalah takdir yang harus aku hadapi dengan hati ikhlas, tawakkal dan pasrah kepada Allah Yang Maha Besar.Maka pada Sabtu Pahing, 25 Oktober 2014, bertepatan dengan tahun bau hijriah 1435 aku terbang ke uatara Pulau Jawa. Dari bandara Soekarno-Hatta aku naik pesawat Garuda Indonesia Airline ke bandara Sam ratulangi Manado. Dari bandara Sam Ratulangi aku berlayar dengan kapal ferry ke Pulau Miangas. Sebuah pulau terjauh dari Jakarta sebelah utara. Lebih dekat ke Filipina Selatan di kabupaten Kepulauan Ta laud.
Aku memilih kabur ke Pulau Miangas karena ada seorang teman baikku yang tinggal di Pulau ini. Dia adalah Anna Maryana, teman SMP Javantra yang menikah dengan pria Kepulauan Talauci dan tinggal di Desa Miangas, desa di pulau terluar lndoensia sebelah utara. Sementara pulau pada bagian paling selatan Indonesia adalah Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur.
Kedua orangtuaku, ibu dan bapakku sudah lama tiada. Sementara adik dan kakakku, kedua-duanya juga sudah mendahuIui aku. Maka itu aku disebut orang sebagai gadis sebatangkara. Ketika menikah dengan Kang Mudrika Hasan, wali nikah ku adalah pamanku, Uwak Amir Syamsudin, abang tertua dari almarhum ayahku. Namun, setahun lalu, Uwakku wafat pula, hingga aku kehilangan keluarga dari ayah juga dan ibuku. Maka sempurnalah penderitaanku ketika aku disia-sia suami dan diceraikannya
Saat memutuskan untuk kabur, maka aku tidak memerlukan untuk berkonsultasi dengan siapapun. Karena aku tidak punya siapa-siapa lagi. Rumah yang aku miliki, aku kontrakkan dan dai hasil kontrakan itulah maka aku dapat memperpanjang hidupku. Uang itu ditransfer via bank dan kuterima di Pulau Miangas. Karena Miangas desa kecil hanya berpenduduk seribu jiwa, maka bila mengambil uang di bank, aku pergi ke ibukota kecamatan Nunusa, 145 mil laut dart Desa Miangas
Sementara itu, mantan suamiku, Kang Mudrika membangun rumah mewah di kaki Gunung Salak. Dia tinggal di situ dan mengandalikan bisnis kontraktor real estatenya dari Gunung Salak. Sementara perkantorannya di Rasuna Said, Casablanca, Kuningan, Jakarta Selatan, dikendalikan oleh orang kepercayaannya, Sutisna Wijaya, adik bungsunya yang insinyur bangunan.
Melepaskan hidupku dan masa lalu, adalah dengan pergi jauh dari Jakarta. Aku hapus semua kenangan dan memulai hidup bertualang sebagai janda di pulau terpencil. Ada perintah gaib dalam mimpiku bahwa aku harus menemui teman baikku Anna Maryana dan tinggal di Pulau Miangas.
Anna tentu saja tersentak kaget saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya di Miangas, namun dia menerima aku dengan baik. Dan suami Anna, aku bisa membuka usaha warung kopi, warung sembako dan berjalan lancar hingga tahun 2017 ini. Sudah tiga tahun aku di Miangas dan telah melupakan semua kenangan indah bersama Kang Mudrika selama dalam mahligai pernikahan di Jakarta. Kebahagiaan selama ini aku hapus dan kuisi dengan sikap mandiri, teguh, kokoh untuk merajut hidup tanpa ketergantungan lagi dari seorang Kang Mudrika yang sepuLuh tahun bersamaku.
Setelah tiga tahun aku bermukim di Miangas dengan segala suka dan duka, pada hari Rabu tanggal 19 Oktober 2016, Desa Miangas dihebohkan karena akan kehadiran Bapak Presiden Joko Widodo. Semua perangkat desa, pejabat kecamatan,pemimpin kabupaten sibuk membenahi Pulau Miangas karena RI Satu akan datang bersama rombongan dart ibukota. Pak Joko Widodo akan didampangi Bapak Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Bapak Menteri perhubungan Pak Budi Karya dan bapak gubernur Sulawesi Utara, Bapak Olly Dondokambey.
Kami masyarakat desa Miangas sangat bergembira akan kehadiran presiden republik Indonesia. Dan kata Pak Oily Dondokambey, gubernur kami, bahwa hanya Pak Joko Widodo Iah presiden Indoensia yang mau datang ke Pulau Miangas.Rombongan naik pesawat milik ketentaraan, CN-295 TNI-AU di bandara kecil yang akan diresmikan oleh bapak oko Widodo sebagai presiden Indonesia. Kami di Mianga punya bandara dan baru kali itulah kami merasa diperhatikan oleh kepala negara. Maka itu, Pak Jokowi menjadi pembicaraan kami, bukan hanya di Pulau Miangas, tapi di Talaud dan Sulawesi Utara.
Pada hari-hari pertama di Pulau Miangas masih terasa berat. Maklumlah, aku anak kota, lahir dan besar di Jakarta lalu harus ttnggal di desa kecil, pulau terpencil yang masih sept dan sunyi. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan malam dan dunia gemerlap sebagaimana ibukota yang semarak selama ini aku hadapi. Di sini aku berubah pola pikir, pola hidup dan merubah segala-galanya.
Termasuk pakaian dan tata cara pergaulan. Setiap hari aku makan ikan yang penuh gizi, ikan segar dari nelayan Miangas dan makan sayur mayur serta protein alamiah yang didapat dari Iaut. SebuIan pertama masih agak sulit menyesuaikan diri, namun bulan berikutnya Iebih mudah, setahun, sangat mudah dan sekarang, bahkan aku putuskan untuk selamanya di Pulau Miangas. Bahkan aku akan dikubur saat mati nanti di Pulau Miangas.
Pulau Miangas dulunya dikuasai Belanda. Ini terjadi pada tahun 1677 Masehi. Lalu diambil oleh Filipina pada tahun 1891. Nama pulau ini dulunya bukan Miangas, tapi ,La Pamas. Namun Belanda menggugat di Makamah Arbitrase Internasional dengan hakim Max Huber. Belanda menang dan Pulau Miangas atas La Pamas kembali kepemilikannya oleh Belanda pada tanggal 4 April 1928. Saat Belanda meninggalkan Indonesia dan kita merdeka tahun 1945, maka Pulau Miangas pun kembali ke pangkuan negara Indonesia.
Penduduknya pun, kini dan Talaud, orang-orang Sulawesi Utara keturunan Sangir dan Talaud. Bahkan ada beberapa warga keturunan Filipina Selatan karena jarak Miangas ke Filipina hanya 45 mit laut dan kami biasa bolak balik naik perahu motor ke Filipina Selatan. Bahkan sebagian uang yang beredar adalah mata uang Peso, uang negara Filipina. Namun bendera, tetap merah putih dan kami semua adalah bangsa Indonesia dengan garuda di dada.
Pada saat kedatangan Pak Presiden, Pak Panglima TNI, Pak Menteri Perhubungan dan Pak Gubernur Sulawesi Utara, aku berkenalan dengan seorang wartawan media cetak dari Jakarta. Sebuah media besar yang sangat terkenal dan dibaca ratusan ribu orang setiap hari. Sebutlah koran harian itu namanya Kokom.
Sang Wartawan melepaskan diri dari liputan presiden lalu ngopi di warungku dan bertanya banyak hal. Ketika dia bertanya asalku dari mana dan kukatakan apa adanya bahwa aku dari Jakarta, wartawan itu sangat tertarik dan terus menanyaiku. Dia bertanya kapan aku mulai tingal di Miangas, mengapa aku memilih Miangas dan sampai kapan aku akan menetap di Pulau Miangas. Dasar wartawan jago memancing hal pribadi, maka semua kasus pribadikupun terungkap dan dia turut prihatin akan nasibku, yang akhirnya terdampar di Pulau Miangas, pulau terluar Indonesia yang sedang diperhatikan juga dibangun oleh pemerintah pusat era kepemimpinan Pak Joko Widodo ini.
Wartawan itu bertanya apa perasaanku saat melihat bapak presiden, panglima TNI dan menteri saat berkeliltng di Pulau Miangas. Aku mengatakan hal sejujurnya tentang apa yang aku rasakan kepada jurnalis itu. Kataku, saat aku melihat Pak Presiden Joko Widodo, airmataku tumpah, aku menagis dan jantungku bergetar hebat.
Aku terharu bisa melihat presdenku di Pulau Miangas, pulau yang rasanya tidak mungkin kedatangan seorang pemimpin besar republik ini. Apalagi, kataku, Bapak Presiden sangat sederhana, orangnya tidak jaim, penuh humor dan membuat kami semua terhibur. Paling penting, kataku, Pak Presiden sangat memperhatikan kami di pulau kecil ini, pulau perbatasan, yang konsentrasi pembangunan ke pulau perbatasan , salah satu dari sekian banyak daerah yang sedang dibangun oleh negara. Termasuk Kalimantan Barat di Entekong dan Pulau Rote di selatan Indonesia.
Wartawan itu tertarik karena pengetahuanku dan dia menetap di Miangas walau rombongan kepala negara sudah kembali ke ibukota. Dia meminta komentarku juga tentang Pak Joko Widodo yang minta behenti dan mobil kepresidenan di tepi taut, lalu ke batu pasir untuk mencuci muka dengan air Laut Pulau Miangas. Apa maksdu presiden mencuci muka dengan air laut yang asin dan lengket itu, menurutku? Tanyanya, serius. Aku menjawab enteng persoalan itu. Kataku, itu simbol mistik yang dilakukan oleh Pak Joko Widodo, bahwa dia bersatu dengan pantai Pulau Miangas.
Dia jadikan Laut Miangas, pulau terluar ini satu darah di kulit wajahnya. Pulau Miangas adalah Indonesia yang harus dibangun, diperhatikan dan dicintai sepenuhnya karena bagian negara Indonesia yang dipimpinnya. “Bapak Joko Widodo tidak memandang air laut itu Iengket dan asin, tapi memandang Pulau Miangas, sebagai pulau perbatasan negara yang jadi tanggung jawab pusat yang sama dengan Pulau Jawa tempat di mana pusat pemerintahan ada. Pak Joko Widodo sebut 17.000 pulau di Indonesia, dan 17000 pulau itu di bawah kepemimpinannya dengan 250 juta penduduk, negara berpenduduk terbanyak ke tiga di dunia.Presiden orang yang serius dan seseorang yang konsen pada pembangunan daerah terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil yang selama ini luput dari perhatian pusat.
“Aku pribadi berdoa agar pemimpin seperti ini dapat bertahan hingga sepuluh tahun masa periode kepemimpinannya,” pujiku.
Sebenarnya, aku kagum juga dengan perjuangan wartawan satu in Dia tidak ikut rombongan kepala negara dengan fasilitas kepresidenan karena dia bukan wartawan istana. Dia datang dengan biaya sendiri dan rela naik kapal ferry tanpa ikut pesawat TNlAngkatan Udara CN 295 rombongan kepala negara. Dia mau meliput secara bebas di Puiau Miangas, bahkan dia akan naik perahu nelayan liputan pula ke Mindanau, Filipina Selatan.
Setelah dia bertanya banyak hal kepadaku, kini giliran aku bertanya soal pribadi kepadanya. Dia seorang lulusan sekolah tinggi publisitik dan ambil bidang jurnalistik. Melamar di perusahaan media cetak dan diterima pada tahun 1987. Sejak itu dia bekerja dengan gaji tetap sebagai karyawan organik di perusahaan penerbitan besar di ibukota. Di menikahi seorang gadis asal Sragen, Solo, Jawa Tengah dan tidak punya anak.kisah nyata janda
Katanya, bukan istrinya yang salah, tapi dirinyalah yang tidak subur hingga tidak punya anak walau pernikahannya sudah lebih dari dua puluh tahun. Mereka berdua sudah berobat ke dokter ahli kandungan di manapun, mulai dan Singapura hingga ke Swedia, Eropa Barat, tetap hasilnya nihil. Namun terakhir vonis diterima, bahwa kualitas spermanya buruk dan tak akan bisa membuahi istri hingga kapanpun. Maka itu, intinya, adalah dia tak akan bisa punya anak karena kualitas sperma yang bermasalah.
Pikirku, aku punya kesamaan penderitaan dengan wartawan ini. Aku mandul, diapun mandul. Mungkin karena perasaan senasib, maka aku tanya hal sangat pribadi tentang istrinya, apakah istrinya bisa menerima keadaan dan kenyataan itu. Kenyatan bahwa dia mandul dan bantet tak dapat memberikan keturunan. Di luar dugaanku, dia menjawab jujur, bahwa istrinya menceraikannya dan menikah dengan lelaki lain.
“Mereka sekarang sudah punya dua anak dan hidup berbahagia. Sementara aku, memilih menduda dan betekad tidak akan menikah lagi sampai kapanpun,” imbuhnya, lirih dan sendu. Aku tenggelam dalam keharuan dan kesedihan. Aku ikut merasakan apa yang dirasakannya karena aku juga mengalami yang yang persis sama dengannya. Dia katakan bahwa dia sedang bersembunyi ditempat yang terang dan di tengah keramaian Jakarta. Sementara aku, bersembunyi di tempat sepi dan sunyi, sebuah pulau terpencil dan tèrjauh dari Jakarta. Kami sama sama sependeritaan dan sama-sama mengalami masalah yang sama. Yaitu sama-sama ditinggal pasangan menikah lagi karena tak mampu memberikan keturunan.
Selama seminggu observasi dan liputan di Pulau Miangas,jurnalis itu makan dan minum di warungku. Sementara tidurnya di rumah sewaan dekat kantor kepala desa. Kami jadi bersabahat dan saling merindukan. Kami tidak punya rasa apapun, selain kekeluargaan dan berteman. Dia memberikan kartu nama yang Iengkap. Ada alamat rumah, alamat kantor dan beberapa nomon telepon.
Saat dia berangkat liputan ke Mindanau, Filipina Selatan, aku meninggalkn warung sebentar untuk mengantarkannya ke dermaga perahu motor. Dia melambaikan tangan dan aku melambaikan tangan dengan penasaan sangat sedih yang mendalam. Tidak terasa airmataku menetes dan aku merindukannya.Ya hari Sabtu, tanggal 28 Januari 2017 lalu,bertepatan dengan hari Raya Imlek 2568 Kongzili, aku ke Jakarta karena rindu familiku dan sekalian berencana menemui wartawan bernama Yayat Sutrisna itu ke rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Warungku tetap buka di Desa Miangas karena aku sudah punya asisten warga setempat, Ferina Makahanat Anna Maryana mengantarkan aku hingga ke kota Nunusa. Aku ke bandara Sam Ratulangi, Manado lalu terbang ke Jakarta.
Saat sampai di rumahnya, aku terkejut. Rumah itu sudah kosong dan berumput panjang di halamannya. Aku nyaris pingsan setetah tetangga sebelah menyebut bahwa wartawan bernama Yayat Sutrisna itu sudah meninggal empat tahun lalu. Dia wafat pada Hari Rabu Pahing, 23 Januari tahun 2013 dimakamkan di Makan TPU Cipinang Muara. Aku segera ke makam dan melihat makamnya yang sudah Iusuh. Namanya tertera di makam itu, Yayat Sutrisna, lahir tanggal 3 April tahun 1962 dan wafat hari Rabu Pahing, 23 Januani 2013.
Tetangga yang mengantarkan aku, Bu Inah, menyebut, bahwa Pak yayat itu ditinggal istrinya menikah lagi dan dia tidak mempunyai anak. Maka itu, rumahnya belum ada yang mengurus karena almanhum juga tidak punya saudara kandung. Jadi rumah itu, diwakafkannya dan itu ditulis di notaris. Diwakafkan untuk kegiatan anak yatim dan orang miskin. Cuma, pihak pemerintah belum sempat mengurus rumah itu, sehingga terlantar dan dipenuhi oleh rumput ilalang yang tinggi dan panjang.
Hatiku galau gemalau. Jantungku berdetak hebat dan bulu kudukku berdiri sekujur tubuhku. Ternyata, wartawan hebat yang datang ke Desa Miangas berbarengan dengan kedatangan.Pak Pnesiden itu adalah gaib. Kang Yayat itu temyata arwah yang maujud dan berbagi cerita dengan ku. Namun, apa yang dikisahkannya itu, sama persis dengan cerita Bu Inah tentang dia.
Berarti arwah Kang yayat itu bicara apa adanya dan realita. Hatiku sangat terharu dan rapuh seketika. Temyata, aku berhubungan dengan roh yang maujud dan berbagi cerita hal pribadi yang sensitif. Sebagai bertanda gaib, bahwa yang menderita karena mandul bukan hanya aku.
Bahkan arwah pun, bercerita tentang penderitaannya dan menuntut teman yang sama yang masih tersisa di atas bumi. Bahkan di bumi Indonesia terjauh dan terluar dari pusat pemerintahan di Jakarta. Subhanallah, alhamdulillah, Lailahaillallah, Allahu Akbar.
Maka dengan uang itulah aku pergi jauh dari rumah. Mungkin, pergi untuk selama-lamanya.Pukulan terberat bagi seorang istri adalah dihina, dimadu lalu diceraikan suami. Rasanya aku tiba-tiba menjadi seperti sampah, barang yang tak berguna, barang terbuang, tak berharga lagi lalu dilempar ke tempt pembuangan akhir dan dibakar. Semua wanita akan merasa terhina bila mengalami nasib seperti diriku
Suami menikah lagi karena alasan ingin mendapatkan keturunan, lalu dicerai dan disantuni seperti pengemis. Tapi pikirku, sudahlah, ini adalah takdir yang harus aku hadapi dengan hati ikhlas, tawakkal dan pasrah kepada Allah Yang Maha Besar.Maka pada Sabtu Pahing, 25 Oktober 2014, bertepatan dengan tahun bau hijriah 1435 aku terbang ke uatara Pulau Jawa. Dari bandara Soekarno-Hatta aku naik pesawat Garuda Indonesia Airline ke bandara Sam ratulangi Manado. Dari bandara Sam Ratulangi aku berlayar dengan kapal ferry ke Pulau Miangas. Sebuah pulau terjauh dari Jakarta sebelah utara. Lebih dekat ke Filipina Selatan di kabupaten Kepulauan Ta laud.
Aku memilih kabur ke Pulau Miangas karena ada seorang teman baikku yang tinggal di Pulau ini. Dia adalah Anna Maryana, teman SMP Javantra yang menikah dengan pria Kepulauan Talauci dan tinggal di Desa Miangas, desa di pulau terluar lndoensia sebelah utara. Sementara pulau pada bagian paling selatan Indonesia adalah Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur.
Kedua orangtuaku, ibu dan bapakku sudah lama tiada. Sementara adik dan kakakku, kedua-duanya juga sudah mendahuIui aku. Maka itu aku disebut orang sebagai gadis sebatangkara. Ketika menikah dengan Kang Mudrika Hasan, wali nikah ku adalah pamanku, Uwak Amir Syamsudin, abang tertua dari almarhum ayahku. Namun, setahun lalu, Uwakku wafat pula, hingga aku kehilangan keluarga dari ayah juga dan ibuku. Maka sempurnalah penderitaanku ketika aku disia-sia suami dan diceraikannya
Saat memutuskan untuk kabur, maka aku tidak memerlukan untuk berkonsultasi dengan siapapun. Karena aku tidak punya siapa-siapa lagi. Rumah yang aku miliki, aku kontrakkan dan dai hasil kontrakan itulah maka aku dapat memperpanjang hidupku. Uang itu ditransfer via bank dan kuterima di Pulau Miangas. Karena Miangas desa kecil hanya berpenduduk seribu jiwa, maka bila mengambil uang di bank, aku pergi ke ibukota kecamatan Nunusa, 145 mil laut dart Desa Miangas
Sementara itu, mantan suamiku, Kang Mudrika membangun rumah mewah di kaki Gunung Salak. Dia tinggal di situ dan mengandalikan bisnis kontraktor real estatenya dari Gunung Salak. Sementara perkantorannya di Rasuna Said, Casablanca, Kuningan, Jakarta Selatan, dikendalikan oleh orang kepercayaannya, Sutisna Wijaya, adik bungsunya yang insinyur bangunan.
Melepaskan hidupku dan masa lalu, adalah dengan pergi jauh dari Jakarta. Aku hapus semua kenangan dan memulai hidup bertualang sebagai janda di pulau terpencil. Ada perintah gaib dalam mimpiku bahwa aku harus menemui teman baikku Anna Maryana dan tinggal di Pulau Miangas.
Anna tentu saja tersentak kaget saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya di Miangas, namun dia menerima aku dengan baik. Dan suami Anna, aku bisa membuka usaha warung kopi, warung sembako dan berjalan lancar hingga tahun 2017 ini. Sudah tiga tahun aku di Miangas dan telah melupakan semua kenangan indah bersama Kang Mudrika selama dalam mahligai pernikahan di Jakarta. Kebahagiaan selama ini aku hapus dan kuisi dengan sikap mandiri, teguh, kokoh untuk merajut hidup tanpa ketergantungan lagi dari seorang Kang Mudrika yang sepuLuh tahun bersamaku.
Setelah tiga tahun aku bermukim di Miangas dengan segala suka dan duka, pada hari Rabu tanggal 19 Oktober 2016, Desa Miangas dihebohkan karena akan kehadiran Bapak Presiden Joko Widodo. Semua perangkat desa, pejabat kecamatan,pemimpin kabupaten sibuk membenahi Pulau Miangas karena RI Satu akan datang bersama rombongan dart ibukota. Pak Joko Widodo akan didampangi Bapak Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Bapak Menteri perhubungan Pak Budi Karya dan bapak gubernur Sulawesi Utara, Bapak Olly Dondokambey.
Kami masyarakat desa Miangas sangat bergembira akan kehadiran presiden republik Indonesia. Dan kata Pak Oily Dondokambey, gubernur kami, bahwa hanya Pak Joko Widodo Iah presiden Indoensia yang mau datang ke Pulau Miangas.Rombongan naik pesawat milik ketentaraan, CN-295 TNI-AU di bandara kecil yang akan diresmikan oleh bapak oko Widodo sebagai presiden Indonesia. Kami di Mianga punya bandara dan baru kali itulah kami merasa diperhatikan oleh kepala negara. Maka itu, Pak Jokowi menjadi pembicaraan kami, bukan hanya di Pulau Miangas, tapi di Talaud dan Sulawesi Utara.
Pada hari-hari pertama di Pulau Miangas masih terasa berat. Maklumlah, aku anak kota, lahir dan besar di Jakarta lalu harus ttnggal di desa kecil, pulau terpencil yang masih sept dan sunyi. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan malam dan dunia gemerlap sebagaimana ibukota yang semarak selama ini aku hadapi. Di sini aku berubah pola pikir, pola hidup dan merubah segala-galanya.
Termasuk pakaian dan tata cara pergaulan. Setiap hari aku makan ikan yang penuh gizi, ikan segar dari nelayan Miangas dan makan sayur mayur serta protein alamiah yang didapat dari Iaut. SebuIan pertama masih agak sulit menyesuaikan diri, namun bulan berikutnya Iebih mudah, setahun, sangat mudah dan sekarang, bahkan aku putuskan untuk selamanya di Pulau Miangas. Bahkan aku akan dikubur saat mati nanti di Pulau Miangas.
Pulau Miangas dulunya dikuasai Belanda. Ini terjadi pada tahun 1677 Masehi. Lalu diambil oleh Filipina pada tahun 1891. Nama pulau ini dulunya bukan Miangas, tapi ,La Pamas. Namun Belanda menggugat di Makamah Arbitrase Internasional dengan hakim Max Huber. Belanda menang dan Pulau Miangas atas La Pamas kembali kepemilikannya oleh Belanda pada tanggal 4 April 1928. Saat Belanda meninggalkan Indonesia dan kita merdeka tahun 1945, maka Pulau Miangas pun kembali ke pangkuan negara Indonesia.
Penduduknya pun, kini dan Talaud, orang-orang Sulawesi Utara keturunan Sangir dan Talaud. Bahkan ada beberapa warga keturunan Filipina Selatan karena jarak Miangas ke Filipina hanya 45 mit laut dan kami biasa bolak balik naik perahu motor ke Filipina Selatan. Bahkan sebagian uang yang beredar adalah mata uang Peso, uang negara Filipina. Namun bendera, tetap merah putih dan kami semua adalah bangsa Indonesia dengan garuda di dada.
Pada saat kedatangan Pak Presiden, Pak Panglima TNI, Pak Menteri Perhubungan dan Pak Gubernur Sulawesi Utara, aku berkenalan dengan seorang wartawan media cetak dari Jakarta. Sebuah media besar yang sangat terkenal dan dibaca ratusan ribu orang setiap hari. Sebutlah koran harian itu namanya Kokom.
Sang Wartawan melepaskan diri dari liputan presiden lalu ngopi di warungku dan bertanya banyak hal. Ketika dia bertanya asalku dari mana dan kukatakan apa adanya bahwa aku dari Jakarta, wartawan itu sangat tertarik dan terus menanyaiku. Dia bertanya kapan aku mulai tingal di Miangas, mengapa aku memilih Miangas dan sampai kapan aku akan menetap di Pulau Miangas. Dasar wartawan jago memancing hal pribadi, maka semua kasus pribadikupun terungkap dan dia turut prihatin akan nasibku, yang akhirnya terdampar di Pulau Miangas, pulau terluar Indonesia yang sedang diperhatikan juga dibangun oleh pemerintah pusat era kepemimpinan Pak Joko Widodo ini.
Wartawan itu bertanya apa perasaanku saat melihat bapak presiden, panglima TNI dan menteri saat berkeliltng di Pulau Miangas. Aku mengatakan hal sejujurnya tentang apa yang aku rasakan kepada jurnalis itu. Kataku, saat aku melihat Pak Presiden Joko Widodo, airmataku tumpah, aku menagis dan jantungku bergetar hebat.
Aku terharu bisa melihat presdenku di Pulau Miangas, pulau yang rasanya tidak mungkin kedatangan seorang pemimpin besar republik ini. Apalagi, kataku, Bapak Presiden sangat sederhana, orangnya tidak jaim, penuh humor dan membuat kami semua terhibur. Paling penting, kataku, Pak Presiden sangat memperhatikan kami di pulau kecil ini, pulau perbatasan, yang konsentrasi pembangunan ke pulau perbatasan , salah satu dari sekian banyak daerah yang sedang dibangun oleh negara. Termasuk Kalimantan Barat di Entekong dan Pulau Rote di selatan Indonesia.
Wartawan itu tertarik karena pengetahuanku dan dia menetap di Miangas walau rombongan kepala negara sudah kembali ke ibukota. Dia meminta komentarku juga tentang Pak Joko Widodo yang minta behenti dan mobil kepresidenan di tepi taut, lalu ke batu pasir untuk mencuci muka dengan air Laut Pulau Miangas. Apa maksdu presiden mencuci muka dengan air laut yang asin dan lengket itu, menurutku? Tanyanya, serius. Aku menjawab enteng persoalan itu. Kataku, itu simbol mistik yang dilakukan oleh Pak Joko Widodo, bahwa dia bersatu dengan pantai Pulau Miangas.
Dia jadikan Laut Miangas, pulau terluar ini satu darah di kulit wajahnya. Pulau Miangas adalah Indonesia yang harus dibangun, diperhatikan dan dicintai sepenuhnya karena bagian negara Indonesia yang dipimpinnya. “Bapak Joko Widodo tidak memandang air laut itu Iengket dan asin, tapi memandang Pulau Miangas, sebagai pulau perbatasan negara yang jadi tanggung jawab pusat yang sama dengan Pulau Jawa tempat di mana pusat pemerintahan ada. Pak Joko Widodo sebut 17.000 pulau di Indonesia, dan 17000 pulau itu di bawah kepemimpinannya dengan 250 juta penduduk, negara berpenduduk terbanyak ke tiga di dunia.Presiden orang yang serius dan seseorang yang konsen pada pembangunan daerah terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil yang selama ini luput dari perhatian pusat.
“Aku pribadi berdoa agar pemimpin seperti ini dapat bertahan hingga sepuluh tahun masa periode kepemimpinannya,” pujiku.
Sebenarnya, aku kagum juga dengan perjuangan wartawan satu in Dia tidak ikut rombongan kepala negara dengan fasilitas kepresidenan karena dia bukan wartawan istana. Dia datang dengan biaya sendiri dan rela naik kapal ferry tanpa ikut pesawat TNlAngkatan Udara CN 295 rombongan kepala negara. Dia mau meliput secara bebas di Puiau Miangas, bahkan dia akan naik perahu nelayan liputan pula ke Mindanau, Filipina Selatan.
Setelah dia bertanya banyak hal kepadaku, kini giliran aku bertanya soal pribadi kepadanya. Dia seorang lulusan sekolah tinggi publisitik dan ambil bidang jurnalistik. Melamar di perusahaan media cetak dan diterima pada tahun 1987. Sejak itu dia bekerja dengan gaji tetap sebagai karyawan organik di perusahaan penerbitan besar di ibukota. Di menikahi seorang gadis asal Sragen, Solo, Jawa Tengah dan tidak punya anak.kisah nyata janda
Katanya, bukan istrinya yang salah, tapi dirinyalah yang tidak subur hingga tidak punya anak walau pernikahannya sudah lebih dari dua puluh tahun. Mereka berdua sudah berobat ke dokter ahli kandungan di manapun, mulai dan Singapura hingga ke Swedia, Eropa Barat, tetap hasilnya nihil. Namun terakhir vonis diterima, bahwa kualitas spermanya buruk dan tak akan bisa membuahi istri hingga kapanpun. Maka itu, intinya, adalah dia tak akan bisa punya anak karena kualitas sperma yang bermasalah.
Pikirku, aku punya kesamaan penderitaan dengan wartawan ini. Aku mandul, diapun mandul. Mungkin karena perasaan senasib, maka aku tanya hal sangat pribadi tentang istrinya, apakah istrinya bisa menerima keadaan dan kenyataan itu. Kenyatan bahwa dia mandul dan bantet tak dapat memberikan keturunan. Di luar dugaanku, dia menjawab jujur, bahwa istrinya menceraikannya dan menikah dengan lelaki lain.
“Mereka sekarang sudah punya dua anak dan hidup berbahagia. Sementara aku, memilih menduda dan betekad tidak akan menikah lagi sampai kapanpun,” imbuhnya, lirih dan sendu. Aku tenggelam dalam keharuan dan kesedihan. Aku ikut merasakan apa yang dirasakannya karena aku juga mengalami yang yang persis sama dengannya. Dia katakan bahwa dia sedang bersembunyi ditempat yang terang dan di tengah keramaian Jakarta. Sementara aku, bersembunyi di tempat sepi dan sunyi, sebuah pulau terpencil dan tèrjauh dari Jakarta. Kami sama sama sependeritaan dan sama-sama mengalami masalah yang sama. Yaitu sama-sama ditinggal pasangan menikah lagi karena tak mampu memberikan keturunan.
Selama seminggu observasi dan liputan di Pulau Miangas,jurnalis itu makan dan minum di warungku. Sementara tidurnya di rumah sewaan dekat kantor kepala desa. Kami jadi bersabahat dan saling merindukan. Kami tidak punya rasa apapun, selain kekeluargaan dan berteman. Dia memberikan kartu nama yang Iengkap. Ada alamat rumah, alamat kantor dan beberapa nomon telepon.
Saat dia berangkat liputan ke Mindanau, Filipina Selatan, aku meninggalkn warung sebentar untuk mengantarkannya ke dermaga perahu motor. Dia melambaikan tangan dan aku melambaikan tangan dengan penasaan sangat sedih yang mendalam. Tidak terasa airmataku menetes dan aku merindukannya.Ya hari Sabtu, tanggal 28 Januari 2017 lalu,bertepatan dengan hari Raya Imlek 2568 Kongzili, aku ke Jakarta karena rindu familiku dan sekalian berencana menemui wartawan bernama Yayat Sutrisna itu ke rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Warungku tetap buka di Desa Miangas karena aku sudah punya asisten warga setempat, Ferina Makahanat Anna Maryana mengantarkan aku hingga ke kota Nunusa. Aku ke bandara Sam Ratulangi, Manado lalu terbang ke Jakarta.
Saat sampai di rumahnya, aku terkejut. Rumah itu sudah kosong dan berumput panjang di halamannya. Aku nyaris pingsan setetah tetangga sebelah menyebut bahwa wartawan bernama Yayat Sutrisna itu sudah meninggal empat tahun lalu. Dia wafat pada Hari Rabu Pahing, 23 Januari tahun 2013 dimakamkan di Makan TPU Cipinang Muara. Aku segera ke makam dan melihat makamnya yang sudah Iusuh. Namanya tertera di makam itu, Yayat Sutrisna, lahir tanggal 3 April tahun 1962 dan wafat hari Rabu Pahing, 23 Januani 2013.
Tetangga yang mengantarkan aku, Bu Inah, menyebut, bahwa Pak yayat itu ditinggal istrinya menikah lagi dan dia tidak mempunyai anak. Maka itu, rumahnya belum ada yang mengurus karena almanhum juga tidak punya saudara kandung. Jadi rumah itu, diwakafkannya dan itu ditulis di notaris. Diwakafkan untuk kegiatan anak yatim dan orang miskin. Cuma, pihak pemerintah belum sempat mengurus rumah itu, sehingga terlantar dan dipenuhi oleh rumput ilalang yang tinggi dan panjang.
Hatiku galau gemalau. Jantungku berdetak hebat dan bulu kudukku berdiri sekujur tubuhku. Ternyata, wartawan hebat yang datang ke Desa Miangas berbarengan dengan kedatangan.Pak Pnesiden itu adalah gaib. Kang Yayat itu temyata arwah yang maujud dan berbagi cerita dengan ku. Namun, apa yang dikisahkannya itu, sama persis dengan cerita Bu Inah tentang dia.
Berarti arwah Kang yayat itu bicara apa adanya dan realita. Hatiku sangat terharu dan rapuh seketika. Temyata, aku berhubungan dengan roh yang maujud dan berbagi cerita hal pribadi yang sensitif. Sebagai bertanda gaib, bahwa yang menderita karena mandul bukan hanya aku.
Bahkan arwah pun, bercerita tentang penderitaannya dan menuntut teman yang sama yang masih tersisa di atas bumi. Bahkan di bumi Indonesia terjauh dan terluar dari pusat pemerintahan di Jakarta. Subhanallah, alhamdulillah, Lailahaillallah, Allahu Akbar.
SUMBER : WWW.GARASIGAMING.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar